BAB I
PEMBUKAAN
BAB II
ISI
- Selayang Pandang
Di Ungaran, salah satu bangunan peninggalan dari Hasan Munadi adalah Masjid Subulussalam Nyatnyono. Masjid yang dikenal dengan nama Masjid Karomah Hasan Munadi tersebut bahkan dipercaya lebih tua dari pada Masjid Agung Demak.
Awalnya, Kiai Hasan Munadi dan putranya Kiai Hasan Dipuro nyantri kepada Sunan Ampel bersama Raden Patah. Setelah dianggap cukup ilmunya, Raden Patah diperintahkan oleh Sunan Ampel untuk membangun pesantren di Desa Glagah Wangi, Demak, sedangkan Kiai Hasan Munadi dan putranya disuruh untuk kembali ke kampungnya, untuk mengembangkan Islam di daerah Semarang dan sekitarnya.
Sebelum mulai melakukan aktivitas dakwah, Kiai Hasan Munadi berkhalwat di Puncak Gunung Suroloyo untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT. Setelah seratus hari melakukan khalwat, Kiai Hasan mendapat isyarat. Dalam khalwatnya itu ia melihat sebuah masjid di salah satu dusun yang terletak di lereng bukit yang kemudian dikenal sebagai Dusun Nyatnyono.
Asal-muasal nama Nyatnyono sendiri, yang berarti “berdiri tahu-tahu sudah ada”, tidak terlepas pula dari hasil khalwat yang dilakukan Kiai Hasan. Setelah mendapat isyarat itu, Kiai Hasan pun keluar dari khalwatnya untuk menuju kampung tempat masjid dalam isyarat itu berada.
Keluarbiasaan terjadi atas izin Allah, begitu Kiai Hasan keluar dari tempat khalwatnya, ternyata masjid yang ada dalam isyarat itu benar-benar sudah berdiri tegak di Lereng Gunung Suralaya.
Karena peristiwa luar biasa itulah, yang merupakan karamah dari waliyullah Hasan Munadi, pada akhimya masjid dan dusunnya kemudian dinamakan “Nyatnyono”. Nyat artinya “berdiri” dan Nyono artinya “sudah ada”. Maksudnya, berdiri dari khalwat, tiba-tiba masjidnya sudah ada dengan sendirinya.
Konon menurut cerita, sebelum mengerjakan masjid tersebut, Hasan Munadi didatangi Sunan Kalijaga. Saat itu dia diminta membantu pembangunan Masjid Agung Demak yang juga akan didirikan. Hasan Munadi bersedia memenuhi permintaan Sunan Kalijaga dengan sebuah syarat, yakni meminta Walisanga menyelesaikan masjid di lereng timur Gunung Ungaran dulu sebelum membangun Masjid Demak.
Kepada Sunan Kalijaga, dia meminta salah satu tiang penyangga yang akan digunakan untuk mendirikan Masjid Demak dan permintaan tersebut dikabulkan. Sunan Kalijaga mengantarkan salah satu tiang yang diminta ke Nyatnyono. Pada awal pembangunannya, masjid tua itu hanya didirikan dengan satu tiang. Namun, pada zaman Belanda, oleh Kiai Raden Purwo Hadi ditambah menjadi empat saka (tiang). Pada 1985 masjid tersebut direnovasi oleh masyarakat tanpa mengubah posisi atau jumlah tiangnya.
- Latar Belakang Perehaban Masjid
Sebagaimana kita ketahui, bahwasanya masjid adalah tempat ibadah umat islam yang sangat mulia sehingga perlu untuk dimakmurkan, dirawat, dijaga, dan lestarikan sebaik-baiknya sehingga bagi orang yang mau menjalankan solat akan terasa nyaman dan bisa menambahi kekhusu’an dalam beribadah.
Salah satu bentuk untuk memakmurkan masjid adalah dengan cara merenovasi bangunan masjid yang sudah tidak layak lagi dan memperluas bangunannya agar bisa menampung banyak para jamaah dan peziarah yang mau menginap.
Masjid subulussalam direnovasi oleh masyarakat desa nyatnyono karena terutama malam selikuran pada bulan puasa yang bertempatan pada khaulnya Simbah Hasan Munadi dan hari jumat, para peziarah tidak bisa melaksanakan salat di masjid karena tempat masjid yang mulia itu ruangannya sempit apalagi sudah dibanjiri oleh para peziarah untuk istirahat sambil menunggu untuk berbuka puasa sehingga tiada ruang untuk melakukan solat. Melihat dari keadaan itulah akhirnya masyarakat dusun krajan sendiri timbul rasa untuk merehabnya agar para peziarah tetap bisa melaksanakan salat di masjid wali itu dengan nyaman.
- Awal Pembentukan panitia
Pada tanggal 21 desember 2011 pemerintah desa mengadakan musyawarah tingkat desa untuk membahas perehaban masjid, dan dari hasil musyawarah itu sebagian para musyawarah menyetujui bahwa perehaban pembangungan masjid perlu ditindaklanjuti dan pengalokasian dana perehaban diambilkan dari uang jariyah makam dan sendang dengan perincian untuk operasional rutinitas bulanan sector sendang dan makam sebesar 75% sedangkan 25% untuk perawatan sendang dan makam. Selain dana dari kedua sektor tersebut, ada juga dana tambahan dari warga dusun krajan serta para donator.
Untuk mengawali perehaban pembangunan masjid subulussalam, tentunya diperlukan pembentukan panitia perehaban masjid yang mana pertama kali dibentuk oleh takmir masjid yang diketuai oleh bapak Drs. H. Bisri Musthofa, namun dipertengahan jalan terjadi problematika atau pro-kontra dari masyarakat sehingga menyebabkan terhambatnya perehaban pembangunan masjid tersebut. Sekitar bulan Mei 2013 bapak H. Musthofa Bisri mengundurkan diri sebagai ketua panitia pembangunan karena dari pada tidak berjalan akhirnya menyerahkan kepada takmir lagi. Pada tanggal 3 juni 2013 takmir masjid mengumpulkan tokoh masyarakat dan perwakilan dari masyarakat bapak RT kurang lebih 10 orang mengadakan musyawarah lagi untuk melakukan pemilihan kembali kepanitian perehaban pembangunan masjid dan dari hasil musyawarah tersebut disepakati dan ditetapkan bahwa ketua kepanitian perehaban pembangunan masjid dipegang oleh bapak parsunto.
Langkah awal untuk melaksanakan perehaban masjid, panitia melakukan sowan-sowan para kiai sesepuh yang masih ada keturunan dari para wali terutama:
- Mbah Munif Zuhri dari Giri Kusuma Mranggen Demak
- Mbah Salman dari Popongan Klaten
- Mabah Muhromi dari Ketapang Susukan Salatiga
- Gus Ali putra dari Mbah Ahmad Abdul Khaq dari Watu Congol,
- Mbah KH. Baqoh Arifin putra dari simbah KH. Abdul Hamid dari Kajoran Magelang.
- Dan kiai-kiai yang lainnya sekitar kabupaten semarang.
Dan sebelum perenovasian, masyarakat mengadakan syukuran bersama agar diberikan kelancaran dalam pembangunan masjid yang diawali rapat pada tanggal 6 syawal (12 Agustus 2012 rapat). Sedangkan pada tanggal 26 agustus 2012 yang bertepatan pada hari ahad, sebelum penggalian tanah, masyarakat mengadakan mujahadah pada malam harinya dan paginya mengadakan syukuran serta dimulailah awal perehaban pembangunan masjid.
Kemudian pada tanggal 5 september 2012 dilaksanakan peletakan batu pertama yang menghadirkan para kiai dan tokoh masyarakat diantaranya Simbah Yasin, Mbah Wahib, Mbah Khumaidi, Mbah Sya’roni, Mbah Mustofa dan menghadirkan kiai lain diantaranya Gus Ali, Mbah Baqoh dan juga petinggi pemerintahan (bupati, camat) dan diisi mauidhoh khasanah oleh Simbah KH. Mansyur dari salaman magelang. Batu tersebut dicarikan oleh KH. Hasan dari Pasigitan yang di koordinatori oleh Ir H. Mustain dari Kodya Semarang yang ditempatkan pada 7 titik. Setelah peletakan batu dilanjutkan kegiatan dengan cara kerja bakti secara bergiliran dari satu RT ke RT yang lain yang berjumlah 10 orang sampai berkelanjutan. Dan khusus kerja bakti hari ahad seminggu sekali tiap RT yang di mulai dari RT 6 sampai RT 1.
Kerja bakti diawali pembuatan lubang untuk tiang penyangga masjid (cakar ayam).
- Perenovasian
Riwayat tentang karamah waliyullah Hasan Munadi tidak hanya sebatas ketika ia masih hidup. Bahkan ratusan tahun setelah wafatnya, karamah itu masih dirasakan oleh masyarakat. Di antaranya pada waktu Masjid Keramat tersebut direnovasi pada tahun 1985.
Sebagaimana kelaziman para pemangku makam yang hendak merehab Masjid Keramat, Kiai Asmui pemangku makam keramat pada waktu itu melakukan mujahadah selama satu tahun terlebih dahulu. Setelah mujahadah selesai dilaksanakan, ia pun berinisiatif untuk meminta bantuan masyarakat sekitar yang bersedia menjadi dermawan untuk menyumbangkan hartanya.
Masyarakat Nyatnyono memang bisa dibilang kelas menengah ke bawah, hanya beberapa pejabat dan keluarga tertentu yang memiliki kekayaan yang dianggap berlebih di masa itu. Proposal yang ditawarkan, termasuk kepada instansi-instansi tertentu dan beberapa orang kaya yang ada di lingkungan sekitar, kembali dengan tidak membawa hasil apapun.
Dalam kondisi semacam itu, Kiai Asmui gamang untuk melanjutkan renovasi. Akhirnya ia sowan kepada Kiai Hamid (K.H. Abdul Hamid Magelang), yang termasyhur dengan kewaliannya, untuk meminta pendapat tentang situasi yang sedang dihadapinya. Namun, Kiai Hamid malah menjawab ringan, “Sudah, pulang sana, mulai renovasi masjidnya. Waliyullah Hasan itu kaya. Kuburannya ada gambar uang.”
Sepulang dari kediaman Kiai Hamid, Kiai Asmui makin bingung memikirkan kata-kata Kiai Hamid. Tapi, karena taat kepada sang guru, ia tidak berpikir panjang lagi. Meski tidak memiliki modal, ia pun mulai merenovasi. Bagian-bagian bangunan masjid yang dinilai sudah tidak layak mulai dirobohkan untuk direnovasi.
Tiba-tiba keanehan kembali terjadi. Tidak diduga-duga, seorang peziarah yang datang ke makam dan tengah menderita sakit kronis dalam waktu yang singkat sembuh dari penyakit yang dideritanya setelah meminum dan mengusap- kannya ke bagian tubuh air yang keluar dari sumber yang berada tak jauh dari makam.
Ribuan Muslim Ungaran Arak Mustoko Masjid Waliyullah Hasan Munadi

Ribuan umat muslim desa Nyatnyono, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Minggu (13/4/2014) pagi mengarak Molo atau Mustoko atau Kubah Masjid baru untuk menggantikan kubah lama Masjid Subulussalam, sebuah Masjid yang diyakini dibangun oleh Waliyullah Hasan Munadi. Konon Mbah Hasan Munadi sezaman dengan Walisongo.
Pagi itu ribuan umat Islam Kota Ungaran Kabupaten Semarang berjalan beriringan menuju Masjid Subulus Salam yang berada di desa Nyatnyono Kecamatan Ungaran Barat, Kabupaten Semarang.
Minggu pagi 13 April 2014 suasana di Desa tersebut meriah. Umbul-umbul berkelebatan di kanan-kiri turut memeriahkan mereka yang berjalan diiringi shalawatan dengan tetabuhan.
Umat Islam Ungaran sedang melakukan ritual mengarak molo atau mustoko (kubah). Molo itu akan dipasang di Masjid Subulussalam.
Menurut laporan yang dilansir dari panitia pembangunan masjid (Parsunto), Molo tersebut merupakan kubah baru yang diambil dari perajin di Kudus, untuk menggantikan kubah lama Masjid Subulussalam, sebuah masjid yang diyakini sebagai peninggalan Waliyullah Hasan Munadi, penyebar agama Islam di Bumi Serasi.
Arak-arakan itu menempuh jarak sekitar 3 kilometer dimulai dari Dusun Blaten, desa Nyatnyono hingga sampai di Dusun Krajan Desa Nyatnyono di mana masjid Subuluss Salam berada.
Medan tempuh arak- arakan cukup melelahkan lantaran menapaki jalan menanjak kearah kaki Gunung Ungaran. Namun suasana gembira dan meriah sangat nampak di wajah peserta.
Suasana bertambah meriah karena arak-arakan diramaikan dengan 8 grup rebana dan selama perjalanan panitia menyalakan petasan. Sementara itu warga yang berdiri di sepanjang jalan berebut “gagar mayang” (bunga kertas warna-warni bertangkai lidi) yang dianggap dapat membawa berkah.
Sesampai di kompleks masjid yang diyakni warga telah ada sejak zaman Walisongo. Kubah bersusun tiga yang mempunyai makna syariat, hakikat dan marifat itu diangkat naik secara estafet menuju ke atap masjid untuk dipasang.
Menurut Ketua Panitia Pembangunan Masjid Subuluss Salam, Parsunto (42) masjid di Nyatnyono pertama kali dirikan pada zaman Walisongo. Bahkan masjid tersebut memiliki keterkaitan sejarah dengan Masjid Agung Demak. Masjid tua kemudian itu direhab besar pada zaman penjajahan Belanda.
Setiap kali dilakukan rehab molo (kubah) masjid tidak pernah dibuang melainkan tetap di pasang di dalam molo yang baru yang bentuknya lebih besar. Termasuk ketika melakukan rehab pada tahun 1985, kubah masjid tetap dipasang.
“Tahun 2012 ini kita rehab lagi menjadi masjid dua lantai, jadi ini sudah rehab besar yang ketiga kalinya sejak zaman dulu. Setiap kali rehab besar molo-nya tidak dibuang, paling tua molo berbahan dari tanah bentuknya seperti kendil. Sampai sekarang masih ada, jadi kalau bisa dipasang rangkap ya dipasangkan, kalau tidak dimuseumkan,” kata Parsunto, ditemui di sela-sela acara arak-arakan molo.
Parsunto mengatakan, acara arak-arakan kubah masjid tersebut digelar sebagai ungkapan rasa syukur, wujud kegotongroyongan sekaligus syiar agama. Sebab dalam acara tersebut seluruh elemen masyarakat juga dilibatkan.
“Bahkan ada juga masyarakat dari luar Nyatnyono yang datang sekaligus untuk berziarah ke makam Waliyulllah Hasan Munadi,” pungkas Parsunto.
BAB III
PENUTUP